Powered By Blogger

Selasa, 08 Oktober 2013

Kegagalan Evaluasi Pendidikan Nasional





*) artikel lama…liat aja nama mentri pendidikannya…masih relevan gak ya????
Penilaian sejumlah orang bahwa kualitas pendidikan di Indonesia bukannya mengalami perbaikan tetapi justru penurunan, mulai mendekati kebenaran. Begitu pula, pendidikan di zaman Belanda yang dianggap sebagai zaman normal masih lebih baik dibanding sekarang, juga terbukti. Paling tidak, dulu, lulusan sekolah Belanda menguasai beberapa bahasa asing.
Penilaian mengenai kualitas pendidikan di Indonesia yang kurang menggembirakan itu mencapai pucaknya tatkala muncul hasil survei dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Menurut survei terkait, sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Dari 12 negara yang disurvei oleh  lembaga penelitian yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, menyusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia berada di urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam !.
Data-data yang diajukan dalam survei itu memang membuat para penentu kebijakan pendidikan di Indonesia tidak berkutik. Namun hal tersebut diakui oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Abdul Malik Fadjar sebagai sebuah kebenaran. Memang, sistem dan kualitas pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia.
Penilaian miring tentang sistem dan kualitas pendidikan nasional bukan hanya muncul saat ini, sejak jauh hari telah banyak pihak yang menyoroti ‘kebobrokan’ tersebut. Prof. Wardiman — ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan VI — menolak tudingan bahwa pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja, ketika ia meluncurkan program “link and match”-nya yang merupakan pengakuan diam-diam bahwa sistem pendidikan kita tidak mampu melahirkan tenaga siap pakai (Roy Tjiong, 1998).
Menurut Mendiknas, pendidikan amat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang berkembang di masyarakat. Bagaimana mungkin kualitas pendidikan bisa dinaikkan kalau mahasiswanya kerap terlibat demontrasi yang seringkali itu menjadi tempat pelarian dari ketidakmampuannya (atau bahkan keengganannya belajar) di bangku kuliah. Juga suramnya pendidikan nasional amat terkait dengan keadaan sosial politik (krisis moneter dan konflik sosial). Dengan kata lain, masalah stabilitas dan keamanan menjadi persoalan dasar yang harus diselesaikan. Bagaimanapun juga, pendidikan memerlukan rasa aman.


Etika Pendidikan


‘Pengakuan’ Mendiknas bahwa pendidikan amat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik senafas dengan sinyalemen yang disampaikan oleh Mochtar Buchori (2001) mengenai etika dan politik dalam evaluasi pendidikan. Bahwa dalam manajemen pendidikan – baik pengambil kebijakan, pengelola pendidikan, maupun guru – mestinya terikat dan mengindahkan aspek etika dan politik dalam pendidikan. Bukankah salah satu sumber persoalan dari keterpurukan pendidikan kita adalah karena amburadulnya kurikulum kita selama ini?!
Muatan kurikulum yang sangat ideologis dan sarat dengan nilai-nilai yang harus dikunyah oleh para siswa didik, walaupun kenyataan sehari-hari bertolak-belakang dengan nilai-nilai yang harus dihafalkan itu. Sistem kurikulum dan sistem manajemen sekolah juga tidak kalah serunya, karena hampir setiap kali pergantian menteri mengalami bongkar pasang. Bukankah bisnis buku Inpres (dulu?) merupakan bisnis yang paling menguntungkan? (Roem Topatimasang, 1998).
Selain itu, sistem evaluasi yang kita lakukan selama ini justru tidak menyentuh kepada substansi tujuan diadakannya evaluasi itu sendiri. Menurut para ahli, evaluasi yang baik ialah “evaluasi yang hasilnya dapat menunjukkan kepada mereka yang dievaluasi, apa yang selanjutnya sebaiknya mereka lakukan dan apa pula yang sebaiknya tidak mereka lakukan.” Jadi evaluasi pendidikan yang baik hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas tentang profil keberhasilan siswa. Dan melalui informasi yang terkandung dalam profil ini setiap siswa dapat turut menentukan, apa yang sebaiknya mereka lakukan dan yang tidak harus mereka lakukan (Mochtar Buchori, 2001).
Aspek etika dalam evaluasi muncul ketika evaluator menyadari bahwa dalam dirinya terdapat keuasaan yang besar terhadap mereka yang dievaluasi. Kenyataan ini menghadapkan evaluator kepada suatu pertanyaan yang sangat penting: Apa yang akan dilakukan dengan keuasaannya ini? Menikmatinya, sehingga setiap murid, setiap mahasiswa merasa bahwa dialah orang yang paling berkuasa di sekolah atau di kelas? Atau mempergunakan kekuasaan tadi untuk mengenali setiap peserta didik sebaik mungkin dan kemudian membimbingnya sebaik mungkin pula? Ini merupakan sebuah petanyaan yang harus dijawab dengan kesadaran etika yang tinggi.
Di samping aspek etika, pada evaluasi pendidikan terdapat pula aspek politik. Yaitu, keseluruhan pertimbangan yang mendasari pemilihan materi evaluasi; yang menentukan jenis-jenis pertanyaan yang akan dikemukakan dan cara mengemukakannya dalam ujian dan evaluasi. Tanpa kita sadari, apa yang kita tanyakan pada waktu evaluasi ditentukan oleh preferensi-preferensi politik kita. Berbagai selera etika serta preferensi politik menyusup ke dalam sikap dan praktik pendidikan kita, sehingga segenap evaluasi pendidikan yang kita laksanakan dalam bentuk THB dan EBTA sering membuat sebagian orang tua merasa kecewa, frustasi, dan jengkel.


Evaluasi yang Komprehensif

Dalam otonomi pendidikan, lembaga pendidikan tidak hanya memerlukan informasi dan berusaha memacu kualitas hasil pembelajaran, namun yang lebih penting adalah mengendalikan kualitas proses pembelajaran. Apalagi dengan berlakunya multiple curriculum di Indonesia. Jika disertai dengan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran, maka akan ada kecenderungan yang baik dalam meningkatkan kinerja lembaga pendidikan yang otonom. Untuk itu evaluasi proses pembelajaran harus dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam evaluasi kurikulum.
Tahap evaluasi proses pembelajaran meliputi: penentuan tujuan evaluasi, disain evaluasi, pengembangan instrumen, kalibrasi instrumen evaluasi proses pembelajaran, pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, dan tindak lanjut hasil evaluasi. Secara konseptual, tahap di atas, dapat lebih diperdalam ke dalam tahap-tahap: penentuan tujuan, disain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan data, kalibrasi, analisis, dan tindak lanjut. Secara khusus diuraikan bagaimana mengkalibrasi dengan pendekatan orthogonal untuk alat ukur evaluasi proses pembelajaran. Fungsi lain evaluasi ini adalah untuk tindakan manajerial pimpinan pendidikan dalam mengatasi kecenderungan kualitas proses dan hasil secara lebih terpadu
Dalam EBTA, EBTANAS (atau apapun namanya), dan UMPTN yang selama ini kita laksanakan secara overlap, profil keberhasilan yang menjadi tujuan evaluasi tidak dapat kita temukan.  Yang dapat diketahui oleh para siswa yang lulus dengan baik dalam EBTA, EBTANAS, dan UMPTN ialah bahwa mereka mempunyai beberapa pilihan kalau mereka mau melanjutkan studi di perguruan tinggi. Tetapi hasil dari ketiga ujian tadi tidak dapat membuat mereka tahu, mana yang merupakan pilihan terbaik dari beberapa kemungkinan yang dilihatnya tadi.
Sebaliknya, bagi mereka yang kelulusannya pada ujian EBTA tidak begitu mentereng dan mengalami kegagalan pada ujian Ebtanas dan UMPTN, hasil-hasil ketiga ujian tadi tidak memberikan gambaran apapun tentang diri mereka. Angka-angka yang kurang cemerlang pada hasil EBTA dan pernyataan “TIDAK LULUS” pada hasil Ebtanas serta UMPTN hanya mempunyai satu arti bagi mereka dan orangtua mereka: MEREKA ADALAH ANAK-ANAK YANG GAGAL!.
Ada tiga hal menurut Mochtar Buchori (2001) yang perlu dievaluasi mengenai kemajuan siswa dalam pembelajaran nilai-nilai, yaitu perkembangan dalam nilai estetika, perkembangan dalam nilai-nilai synnoetika (nilai-nilai yang mendasari empathy), dan perkembangan dalam nilai-nilai etika. Ketiga hal inilah yang akan turut memberikan gambaran keberhasilan siswa dalam aktualisasi potensi-potensi di luar bidang intelektual. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar