*) artikel lama…liat aja nama
mentri pendidikannya…masih relevan gak ya????
Penilaian sejumlah orang bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia bukannya mengalami perbaikan tetapi justru
penurunan, mulai mendekati kebenaran. Begitu pula, pendidikan di zaman Belanda
yang dianggap sebagai zaman normal masih lebih baik dibanding sekarang, juga
terbukti. Paling tidak, dulu, lulusan sekolah Belanda menguasai beberapa bahasa
asing.
Penilaian mengenai kualitas
pendidikan di Indonesia yang kurang menggembirakan itu mencapai pucaknya
tatkala muncul hasil survei dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Menurut survei terkait, sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di
kawasan Asia. Dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga penelitian yang
berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem
pendidikan terbaik, menyusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta
Malaysia. Indonesia berada di urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam !.
Data-data yang diajukan dalam survei
itu memang membuat para penentu kebijakan pendidikan di Indonesia tidak
berkutik. Namun hal tersebut diakui oleh Menteri Pendidikan Nasional
(Mendiknas) Abdul Malik Fadjar sebagai sebuah kebenaran. Memang, sistem dan
kualitas pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia.
Penilaian miring tentang sistem dan
kualitas pendidikan nasional bukan hanya muncul saat ini, sejak jauh hari telah
banyak pihak yang menyoroti ‘kebobrokan’ tersebut. Prof. Wardiman — ketika
menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan VI — menolak
tudingan bahwa pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja,
ketika ia meluncurkan program “link and match”-nya yang merupakan
pengakuan diam-diam bahwa sistem pendidikan kita tidak mampu melahirkan tenaga
siap pakai (Roy Tjiong, 1998).
Menurut Mendiknas, pendidikan amat
dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang berkembang di masyarakat.
Bagaimana mungkin kualitas pendidikan bisa dinaikkan kalau mahasiswanya kerap
terlibat demontrasi yang seringkali itu menjadi tempat pelarian dari
ketidakmampuannya (atau bahkan keengganannya belajar) di bangku kuliah. Juga
suramnya pendidikan nasional amat terkait dengan keadaan sosial politik (krisis
moneter dan konflik sosial). Dengan kata lain, masalah stabilitas dan keamanan
menjadi persoalan dasar yang harus diselesaikan. Bagaimanapun juga, pendidikan
memerlukan rasa aman.
Etika Pendidikan
‘Pengakuan’
Mendiknas bahwa pendidikan amat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik senafas
dengan sinyalemen yang disampaikan oleh Mochtar Buchori (2001) mengenai etika
dan politik dalam evaluasi pendidikan. Bahwa dalam manajemen pendidikan – baik
pengambil kebijakan, pengelola pendidikan, maupun guru – mestinya terikat dan
mengindahkan aspek etika dan politik dalam pendidikan. Bukankah salah satu
sumber persoalan dari keterpurukan pendidikan kita adalah karena amburadulnya
kurikulum kita selama ini?!
Muatan kurikulum yang sangat
ideologis dan sarat dengan nilai-nilai yang harus dikunyah oleh para siswa
didik, walaupun kenyataan sehari-hari bertolak-belakang dengan nilai-nilai yang
harus dihafalkan itu. Sistem kurikulum dan sistem manajemen sekolah juga tidak
kalah serunya, karena hampir setiap kali pergantian menteri mengalami bongkar
pasang. Bukankah bisnis buku Inpres (dulu?) merupakan bisnis yang paling menguntungkan?
(Roem Topatimasang, 1998).
Selain itu, sistem evaluasi yang
kita lakukan selama ini justru tidak menyentuh kepada substansi tujuan
diadakannya evaluasi itu sendiri. Menurut para ahli, evaluasi yang baik ialah
“evaluasi yang hasilnya dapat menunjukkan kepada mereka yang dievaluasi, apa
yang selanjutnya sebaiknya mereka lakukan dan apa pula yang sebaiknya tidak
mereka lakukan.” Jadi evaluasi pendidikan yang baik hendaknya dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang profil keberhasilan siswa. Dan melalui informasi
yang terkandung dalam profil ini setiap siswa dapat turut menentukan, apa yang
sebaiknya mereka lakukan dan yang tidak harus mereka lakukan (Mochtar Buchori,
2001).
Aspek etika dalam evaluasi muncul
ketika evaluator menyadari bahwa dalam dirinya terdapat keuasaan yang besar
terhadap mereka yang dievaluasi. Kenyataan ini menghadapkan evaluator kepada
suatu pertanyaan yang sangat penting: Apa yang akan dilakukan dengan
keuasaannya ini? Menikmatinya, sehingga setiap murid, setiap mahasiswa merasa bahwa
dialah orang yang paling berkuasa di sekolah atau di kelas? Atau mempergunakan
kekuasaan tadi untuk mengenali setiap peserta didik sebaik mungkin dan kemudian
membimbingnya sebaik mungkin pula? Ini merupakan sebuah petanyaan yang harus
dijawab dengan kesadaran etika yang tinggi.
Di samping aspek etika, pada
evaluasi pendidikan terdapat pula aspek politik. Yaitu, keseluruhan
pertimbangan yang mendasari pemilihan materi evaluasi; yang menentukan
jenis-jenis pertanyaan yang akan dikemukakan dan cara mengemukakannya dalam
ujian dan evaluasi. Tanpa kita sadari, apa yang kita tanyakan pada waktu
evaluasi ditentukan oleh preferensi-preferensi politik kita. Berbagai selera
etika serta preferensi politik menyusup ke dalam sikap dan praktik pendidikan
kita, sehingga segenap evaluasi pendidikan yang kita laksanakan dalam bentuk
THB dan EBTA sering membuat sebagian orang tua merasa kecewa, frustasi, dan
jengkel.
Evaluasi yang Komprehensif
Dalam otonomi pendidikan, lembaga
pendidikan tidak hanya memerlukan informasi dan berusaha memacu kualitas hasil
pembelajaran, namun yang lebih penting adalah mengendalikan kualitas proses
pembelajaran. Apalagi dengan berlakunya multiple curriculum di Indonesia. Jika
disertai dengan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran, maka akan ada
kecenderungan yang baik dalam meningkatkan kinerja lembaga pendidikan yang
otonom. Untuk itu evaluasi proses pembelajaran harus dimasukkan sebagai salah
satu komponen dalam evaluasi kurikulum.
Tahap evaluasi proses pembelajaran
meliputi: penentuan tujuan evaluasi, disain evaluasi, pengembangan instrumen,
kalibrasi instrumen evaluasi proses pembelajaran, pengumpulan data, analisis
data, interpretasi data, dan tindak lanjut hasil evaluasi. Secara konseptual,
tahap di atas, dapat lebih diperdalam ke dalam tahap-tahap: penentuan tujuan,
disain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan data, kalibrasi,
analisis, dan tindak lanjut. Secara khusus diuraikan bagaimana mengkalibrasi
dengan pendekatan orthogonal untuk alat ukur evaluasi proses pembelajaran.
Fungsi lain evaluasi ini adalah untuk tindakan manajerial pimpinan pendidikan
dalam mengatasi kecenderungan kualitas proses dan hasil secara lebih terpadu
Dalam EBTA, EBTANAS (atau apapun
namanya), dan UMPTN yang selama ini kita laksanakan secara overlap,
profil keberhasilan yang menjadi tujuan evaluasi tidak dapat kita
temukan. Yang dapat diketahui oleh para siswa yang lulus dengan baik
dalam EBTA, EBTANAS, dan UMPTN ialah bahwa mereka mempunyai beberapa pilihan
kalau mereka mau melanjutkan studi di perguruan tinggi. Tetapi hasil dari
ketiga ujian tadi tidak dapat membuat mereka tahu, mana yang merupakan pilihan
terbaik dari beberapa kemungkinan yang dilihatnya tadi.
Sebaliknya, bagi mereka yang
kelulusannya pada ujian EBTA tidak begitu mentereng dan mengalami kegagalan
pada ujian Ebtanas dan UMPTN, hasil-hasil ketiga ujian tadi tidak memberikan
gambaran apapun tentang diri mereka. Angka-angka yang kurang cemerlang pada
hasil EBTA dan pernyataan “TIDAK LULUS” pada hasil Ebtanas serta UMPTN hanya mempunyai
satu arti bagi mereka dan orangtua mereka: MEREKA ADALAH ANAK-ANAK YANG GAGAL!.
Ada tiga hal menurut Mochtar Buchori
(2001) yang perlu dievaluasi mengenai kemajuan siswa dalam pembelajaran
nilai-nilai, yaitu perkembangan dalam nilai estetika, perkembangan dalam
nilai-nilai synnoetika (nilai-nilai yang mendasari empathy), dan perkembangan
dalam nilai-nilai etika. Ketiga hal inilah yang akan turut memberikan gambaran
keberhasilan siswa dalam aktualisasi potensi-potensi di luar bidang
intelektual. Wallahu A’lam.